Oleh : Andi Sardono
Yang namanya Apel Pagi, kalau dilaksanakan dengan sungguh - sungguh, dapat membawa manfaat, setidaknya badan jadi berkeringat. Itu yang saya alami hampir setiap hari (dari hari Senin hingga Kamis) di kantor saya. Jadi, walaupun sudah capek - capek berangkat pagi dari rumah lengkap dengan olesan deodorant di ketiak, tapi kalau sudah selesai mengikuti Apel Pagi, tetap saja bau khas badan kembali menyergap tubuh kalau kita memang berbakat untuk menghasilkan BB alias Bau Badan.
Nah, dalam Apel Pagi itu, selain hal - hal yang sudah pernah saya tulis sebelumnya, berikut ada hal menarik lainnya sehubungan dengan rutinitas Apel Pagi di kantor saya.
Beberapa bulan yang lalu, kantor kami kedatangan personel baru, pindahan dari sebuah lembaga diklat milik instansi pemerintahan yang diperbantukan di kantor kami sebagai tenaga widyaiswara. Orangnya sangat pintar, bahkan belakangan diketahui bahwa beliau adalah seorang penulis buku di lingkungan kerjanya yang lama.
Penampilannya cukup keren, bahkan boleh dibilang perlente. Tapi, kalau yang namanya sedang mendapat giliran untuk mengambil Apel Pagi, maka hal - hal yang akan segera dikatakannya adalah tentang (maaf) isi kepalanya yang terbilang sangat cerdas. Mulai dari proses pembelajaran menjadi seorang pemimpin yang bertanggung jawab, bagaimana mengelola waktu dengan baik dan lain sebagainya. Pendek kata, materi yang biasanya dibawakan di dalam kelas dibawakannya lengkap dari A sampai Z. Bahkan, saking asyiknya, terkadang materi yang disampaikannya selalu berulang - ulang dan berputar - putar mirip gangsing yang dimainkan oleh anak - anak jaman dulu.
Saya dan beberapa teman lainnya sebenarnya tidak mempermasalahkan materi yang dibawakannya itu, tapi yang menjadi masalah adalah terkadang bahasa yang muncul adalah bahasa awang - awang khas pikirannya sendiri tanpa melihat audiensi maupun situasi dan kondisi saat itu. Kebayang 'kan, bagaimana kami harus berdiri membelakangi sinar matahari pagi yang lumayan menyengat sementara beliau asyik berbicara tanpa tahu arah dan tujuan yang ingin dikatakannya. Padahal, kalau dipikir - pikir, posisi berdiri beliau yang menghadap matahari tentunya lebih terasa menyengat dibandingkan kami yang berdiri membelakangi matahari.
Yang menarik lagi, kegelisahan kami (para peserta Apel Pagi) ternyata juga dirasakan sama oleh para pejabat di kantor kami yang sama - sama mengikuti Apel Pagi itu. Kadang, ada yang menekuk - nekuk telapak kakinya agar tidak kepanasan atau kaku karena berdiri terlalu lama. Beberapa di antaranya ada yang asyik berbicara sekedar mengusir kejenuhan atas materi Apel Pagi yang dibawakan oleh sang widyaiswara tersebut.
Suasana Apel Pagi seperti itu tentu saja mengundang banyak tanggapan dari rekan - rekan saya, di antaranya muncul usulan agar materi Apel Pagi yang dibawakan oleh sang widyaiswara itu dituangkan dalam bentuk tulisan dan dibagi - bagikan secara gratis kepada para peserta Apel Pagi begitu kembali ke ruang kerja masing - masing.
Dari situasi pengalaman Apel Pagi seperti itu, setidaknya saya dan rekan - rekan yang lainnya mendapat pelajaran berharga, yaitu bahwa kepintaran atau kepandaian yang kita miliki tidak akan ada gunanya jika kita tidak dapat menempatkan posisi dan keberadaan kita sebagaimana mestinya sesuai situasi dan kondisi di mana kita berada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar