Powered By Blogger

Jumat, 27 Februari 2009

Masukan buat Kartun Panji Koming

Oleh : Andi Sardono
Sepulang kerja tadi malam (hari Kamis, tanggal 26 Februari 2009) sambil melepas lelah setelah sebelumnya mandi dan menyiram tanaman di halaman rumah, saya membaca kartun Panji Koming di Harian Kompas edisi Minggu tanggal 22 Februari 2009.
Agak tersentak juga saya ketika dalam komik tersebut, salah satu tokoh kartun Panji Koming yang digambarkan tua (saya lupa nama tokohnya) mengatakan bahwa orang yang memiliki kecerdasan tinggi jarang (kalau tidak mau dikatakan "tidak ada" oleh si penulis kartun itu mungkin) yang mau menjadi PNS alias Pegawai Negeri Sipil, melainkan lebih memilih menjadi karyawan swasta. Dengan kata lain, si penulis kartun ingin mengungkapkan bahwa karyawan swasta memiliki kepandaian atau keahlian lebih tinggi dibandingkan PNS.
Betulkah demikian?
Tampaknya, si penulis kartun itu (kalau gak salah inisialnya Dwi Koen) lupa bahwa para penyusun draft konsep kebijakan yang kemudian menjadi landasan keputusan dari para pejabat di instansi pemerintahan adalah berasal dari PNS (minimal) Golongan II.
Dari tangan dan pemikiran para PNS itulah kemudian lahir berbagai kebijakan yang menyangkut nasib jutaan rakyat Indonesia. Orang awam (termasuk si Dwi Koen) tahunya cuma berkoar doang alias omdo (Omong Doang) dengan mendiskreditkan PNS.
Contoh lain yang tak kalah konkritnya adalah keberadaan para PNS dengan jabatan fungsional Peneliti seperti di LIPI dan berbagai instansi pemerintahan lainnya. Apa mereka hendak disamaratakan dikatakan oleh Dwi Koen sebagai PNS yang berkepandaian rendah? Tentu tidak, 'kan?
Makanya, sebelum memuat opini publik yang main kutip sana - sini tanpa jelas juntrungannya dan menggambarkannya dalam sebuah kartun, hendaknya para penulis kartun belajar membuat kajian terlebih dulu dengan membaca lebih banyak lagi referensi dan melihat realitas yang berkembang di kalangan instansi pemerintahan.
Semoga para pembuat kartun menyadari betul kekurangan ini dan membenahinya agar bisa dinikmati oleh kalangan masyarakat luas di Indonesia. Tulisan ini saya buat sebagai bentuk kecintaan saya terhadap eksistensi dunia kartun di Indonesia, karena kalau bukan kita yang memberi masukan, siapa lagi?

Rabu, 25 Februari 2009

Berangkat Pagi

Oleh : Andi Sardono
Jakarta macet? Itu hal biasa, terlebih bagi orang - orang yang tinggal di seputar Jakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bodetabek alias Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, tapi bekerja di Jakarta, contohnya ya saya ini.
Tapi, bagi orang - orang yang tinggal di luar Jabodetabek, kemacetan Jakarta cukup membuat dahi berkernyit dan bibir menganga. Bagaimana tidak, lha wong orang seperti saya ini contohnya, harus terbiasa bangun pagi jam 04.00 WIB, dilanjutkan mandi pagi jam 04.35 WIB, dan berangkat dari rumah jam 05.00 WIB karena harus mengejar jadwal kedatangan KRL Bekasi - Tanah Abang pada jam 06.10 WIB di Stasiun KA Kranji, Bekasi. Jika terlambat berangkat dari rumah sekian menit saja, maka akan berakibat kami tertinggal KRL tersebut dan harus menunggu kedatangan KRL berikutnya.
Alhasil, selama dalam perjalanan berangkat kerja pada pagi hari dengan naik Angkot (maklum, kami tidak memiliki kendaraan bermotor) dari rumah kami di daerah Babelan, Bekasi, ke St. KA Kranji, kami berdua (saya dan istri) lebih banyak menghabiskan waktu dengan tertidur di bangku Angkot.
Terkadang, jalur yang biasa dilewati oleh Angkot kami terkena macet parah pada pagi hari, terutama jika bertepatan dengan jadwal keluar - masuk truk - truk bermuatan besar dari dan ke pabrik - pabrik yang tersebar di jalur tersebut.
Ketika hal itu saya ceritakan kepada seorang tamu saya dari Kalimantan Selatan, beliau terheran - heran. Bagaimana dengan Anda? :-)

Pemilu 2009 Sudah Di Depan Mata

Tak terasa, Pemilihan Umum Tahun 2009 sudah ada di depan mata. Jika kita melihat ke kiri dan ke kanan jalan yang kita lalui sepanjang perjalanan kita beraktivitas, dengan mudahnya kita akan temui pajangan spanduk, brosur, bendera, baliho, pamflet atau aneka produk cetak lainnya yang menggambarkan sosok atau profil dari para Calon Legislatif (Caleg) yang berasal dari berbagai Partai Politik Peserta Pemilu 2009 nanti.
Terkadang, berbagai produk cetak tersebut ditempel secara sembarangan tanpa mengindahkan segi estetika atau keindahan dari tata ruang kota secara keseluruhan.
Lantas, mengapa para Caleg itu berlomba - lomba memasang atribut kampanye tanpa memperhatikan segi estetika kota padahal jelas - jelas sudah ada peraturan perundang - undangan yang mengatur tata tertib pemasangan atribut kampanye?
Tak lain dan tak bukan karena mereka tidak memiliki dana kampanye yang cukup untuk menggelar acara debat publik atau kampanye dialogis. Padahal, bentuk kampanye dialogis dinilai sangat efektif baik bagi para Caleg maupun para calon pemilih yang diharapkan akan memilih mereka nantinya.
Bagi para Caleg, dengan kampanye dialogis, mereka dapat merespons keinginan dan harapan publik tentang kehidupan yang lebih lagi di masa datang tentunya. Visi, misi, dan rencana program kerja para Caleg pun tentunya dapat mereka sampaikan dengan lugas dan gamblang. Selain itu, mereka juga dapat memprediksi segmen publik mana yang potensial untuk mereka garap dalam upaya meraih suara sebanyak - banyaknya dalam Pemilu Legislatif nantinya.
Bagi para calon pemilih, dengan adanya kampanye dialogis, mereka dapat menyampaikan harapan, keluhan, kritikan, atau apapun bentuk masukan yang diharapkan dapat menjadi program kerja para Caleg nantinya selepas mereka terpilih duduk di kursi parlemen. Publik pun mendapat gambaran jelas tentang profil, sosok, visi, misi, dan program kerja para Caleg yang akan menjadi wakil rakyat kelak.
Itu tadi adalah bentuk kampanye paling ideal bagi kesuksesan Pemilu 2009 nanti. Tentunya, kita semua berharap agar angka Golput yang dikuatirkan akan meledak dalam Pemilu 2009 nanti dapat ditekan seminimal mungkin (kalau bisa, malah jangan sampai ada Golput). Bagi para Partai Politik (Parpol) Peserta Pemilu, diharapkan mereka berani menerapkan langkah Kontrak Politik bagi para Caleg dari masing - masing Parpol.
Kalau para Caleg itu nanti terbukti lalai dalam menjalankan program kerjanya atau tidak dapat menunjukkan teladan yang baik dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat (seperti misalnya terlibat korupsi, skandal seks, perselingkuhan, dan lain - lain perbuatan yang semestinya tidak mereka lakukan sebagai anggota dewan terhormat), langsung saja direcall dan dijatuhi sanksi hukum pidana.
Setuju? Ya iyalah...masak lah iya dong.

Selasa, 24 Februari 2009

Bencana Banjir dan Tanah Longsor

Oleh : Andi Sardono
Musim hujan telah tiba. Di beberapa wilayah Indonesia, mulai terjadi banjir dan tanah longsor akibat berkurangnya daya dukung alam setempat dalam mengantisipasi datangnya musim itu.
Tetapi, kita tidak dapat serta merta menyalahkan alam begitu saja, karena ternyata penyumbang terbesar kerusakan daya dukung alam adalah ulah manusia itu sendiri. Sebagai contoh, penebangan hutan di berbagai kawasan di Indonesia (umumnya berada di daerah pegunungan) yang marak di sana - sini telah menyebabkan berkurangnya kekuatan akar pepohonan di hutan dalam menahan laju air hujan yang turun di lereng - lereng pegunungan. Akibatnya, air hujan yang seharusnya meresap ke dalam tanah di kawasan hutan tersebut malah turun menggelontor lapisan atas tanah yang subur sehingga terjadilah tanah longsor.
Apa cuma itu?
Ternyata, masih ada lagi. Pembangunan rumah dan gedung di berbagai daerah yang mengambil lahan di sekitar kawasan sungai telah menyebabkan penyempitan sungai sehingga pada akhirnya banjir di daerah hilir sungai. Pembuangan material sampah dan limbah juga telah menyebabkan pendangkalan (sedimentasi) sungai sehingga mengganggu jalannya aliran sungai dari hulu ke hilir. Akibatnya, terjadilah banjir seperti contohnya yang dialami oleh warga Kota Solo dan beberapa daerah lainnya di Jawa Timur yang dilalui oleh aliran Sungai Bengawan Solo.
Itu tadi hanya sekelumit uraian tentang ulah manusia yang telah menyebabkan bencana alam banjir dan tanah longsor di Indonesia. Mudah - mudahan kita semua tersadar untuk bersama - sama mencegah terulangnya lagi bencana serupa dalam intensitas yang lebih besar di masa yang akan datang.
Semoga.