Powered By Blogger

Senin, 12 Oktober 2009

Peran Serta dalam Karya Pelayanan Gereja (Oleh : Andi Sardono)

Di Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, partisipasi umat beriman dalam kehidupan GerejaNya selalu dilihat oleh para pemerhati Gereja sebagai hal yang menggembirakan. Salah satu indikatornya adalah bermunculannya banyak kelompok kategorial yang melibatkan kaum awam beriman sebagai anggota dan (beberapa di antaranya) bertindak sebagai penggerak kelompok – kelompok tersebut. Tentunya, kehadiran dan kegiatan kelompok – kelompok kategorial itu sangat berarti bagi karya pelayanan Gereja di Tanah Air kita.
Namun, jika tidak disadari dan diantisipasi, ada bahaya besar yang dapat timbul dari kehadiran sekian banyak kelompok tersebut, yaitu munculnya persaingan tidak sehat dan melemahnya semangat pelayanan di antara mereka. Yang terjadi kemudian, kelompok satu sama lain saling menjatuhkan dan merasa diri paling benar dalam posisi dan kedudukannya di GerejaNya. Misalnya, ada satu kelompok yang merasa diri mempunyai hubungan paling dekat dengan Bunda Maria dan menganggap yang lainnya tidak dekat dengan Bunda Maria. Ada pula kelompok lainnya yang mengklaim berhubungan paling intens dengan Roh Kudus dan menganggap yang lainnya jauh dari Roh Kudus, dan sekian banyak contoh lainnya lagi.
Bacaan Injil hari ini (Minggu tanggal 18 Oktober 2009) dari Markus 10:35 – 45 secara tidak langsung mengingatkan kita akan tugas pokok yang kita emban sebagai bagian integral dan tak terpisahkan dari GerejaNya, yaitu tugas melayani. Kristus Yesus meminta para RasulNya ketika itu untuk mendukung karya pewartaanNya dengan hidup saling melayani satu sama lain sebagai sesama anggota GerejaNya. Puji Tuhan, walau sebelumnya mereka terlibat pertengkaran dengan St. Yakobus dan St. Yohanes tentang siapa yang terbesar di antara mereka, tapi kelak di kemudian hari mereka hidup saling melayani satu sama lain dalam tugas pewartaan GerejaNya hingga ke beberapa penjuru dunia.
Dalam kaitan dengan bacaan tersebut, Gereja juga menegaskan kembali ajakan Yesus tersebut seperti yang tertuang dalam Katekismus Gereja Katholik (KGK) No. 897 yang intinya kita semua dipanggil olehNya untuk turut serta mengambil bagian dalam pelaksanaan tugas Kristus yang adalah Kepala Gereja, yaitu dalam tugas imamat, kenabian, dan rajawi Kristus.
Sebagai bagian dari umat beriman, ketiga tugas itu diharapkan dapat kita lakukan dengan sepenuh hati demi pelayanan kita kepada Tubuh Mistik Kristus, yaitu GerejaNya sendiri.
Partisipasi kita dalam pelaksanaan tugas Kristus sebagai imam dapat kita lakukan dalam semua karya, kehidupan berdoa, setiap usaha kerasulan kita, setiap usaha kita dalam membina hidup berkeluarga dan hubungan suami istri, setiap jerih payah kita sehari – hari, setiap waktu beristirahat bagi jiwa dan badan kita, serta dalam setiap usaha kita menanggung beban hidup kita dengan sabar, yang semuanya itu jika kita jalankan dalam Roh, layak kita persatukan dengan kurban Kristus Yesus dalam Perayaan Ekaristi (bdk KGK No. 901).
Selanjutnya, partisipasi kita dalam pelaksanaan tugas Kristus sebagai nabi dapat kita lakukan melalui karya penginjilan (dalam kesaksian hidup dan kata – kata), ikut serta dalam pelajaran katekese, terlibat dalam ilmu pengetahuan teologi, berperan serta dalam karya kerasulan media komunikasi (misalnya, melalui internet dan berbagai media massa lainnya), serta turut terlibat dalam setiap sumbang saran kita kepada para gembala Gereja dan umat beriman lainnya dengan tetap menjaga kesusilaan dan sikap hormat kita kepada mereka serta memperhatikan manfaat umum dan martabat pribadi orang (bdk KGK No. 905 s.d 907).
Sedangkan, partisipasi kita dalam pelaksanaan tugas Kristus sebagai raja diwujudkan dalam bentuk kerja sama menyehatkan lembaga – lembaga dan kondisi – kondisi masyarakat, terlibat dalam karya pelayanan Gereja (seperti terlibat dalam setiap kegiatan kelompok kategorial) dan terlibat dalam pelaksanaan kuasa Yurisdiksi GerejaNya (seperti terlibat dalam Komisi – komisi, dan kegiatan pastoral yang terdapat dalam struktur GerejaNya) menurut hokum yang berlaku dengan tetap menganut suara hati Kristiani (bdk KGK No. 909 s.d 912).
Demikianlah, dengan menyelami kembali semangat pelayanan kita sebagai anggota GerejaNya sesuai amanat Kristus dan teladan hidup Para RasulNya dalam mengamalkan Ajaran Kristus, diharapkan kita tidak terjebak dalam sikap sombong, saling menjatuhkan, dan merendahkan satu sama lain dalam tugas pelayanan kita kepada Tubuh MistikNya. Amin.

Kamis, 01 Oktober 2009

Refleksi Bencana dalam Hidup Berbangsa

In nomine Patris et Filii et Spiritu Sancti. Amen

Banyaknya bencana alam dan aneka kejadian memilukan dalam perjalanan hidup bangsa dan negara Indonesia tentunya sangat memprihatinkan kita semua. Sejarah juga mencatat, bahwa kejadian bencana alam yang dialami oleh negeri kita tercinta ini telah jauh - jauh hari mendera nenek moyang kita semua. Dapat dikatakan bahwa tidak ada satu pun pemerintahan negeri kita yang luput dari bencana alam semasa pemerintahan mereka berlangsung.

Maka, ketika kemudian ada sebuah diskusi mencuat ke permukaan yang membahas tentang kaitan antara pemerintahan yang berkuasa dengan datangnya bencana alam, tentu itu sungguh wacana yang menggelikan. Seolah - olah, terbentuknya suatu pemerintahan di suatu negeri turut memberi andil akan terciptanya sebuah bencana alam, mulai dari skala kecil hingga yang besar.

Walau demikian, tidak ada salahnya jika kita coba mengkaji kembali gagasan itu sebelum kemudian menjadi sebuah wacana debat kusir semata.

Kita mulai dari sejarah awal penciptaan Bumi dan seisinya oleh Tuhan YME. Dalam banyak agama dan kepercayaan yang dianut oleh umat manusia, ada satu benang merah yang dapat kita tarik bersama, yaitu bahwa Bumi tercipta melalui sebuah proses pembentukan dari Ketiadaan hingga menjadi Ada dan itu berlangsung terus selama proses pemeliharaan Bumi dan segenap isinya yang kemudian diambil alih oleh manusia. Proses pemeliharaan kehidupan di Bumi oleh segenap umat manusia itu kemudian berjalan seiring dengan tuntutan akan kebutuhan hidup manusia dari seantero dunia. Kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan telah membuka gagasan dalam diri manusia untuk memanfaatkan sebaik - baiknya segala kekayaan alam yang terkandung oleh Bumi dan seisinya.

Sayangnya, yang terjadi kemudian adalah eksplorasi dan eksploitasi besar - besaran yang dilakukan oleh manusia dengan mengatasnamakan kebutuhan duniawi yang semakin mendesak untuk dipenuhi oleh manusia. Pendek kata, umat manusia banyak yang melupakan tugas dan tanggung jawab sosial dalam memelihara keberlangsungan Bumi dan seluruh isi kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Maka, tak heran jika di kemudian hari, di banyak negara (tak terkecuali di Indonesia), ada banyak bencana alam yang menimpa umat manusia. Semua itu menuntut kita semua untuk mereflesikan bencana alam itu dengan kebijakan yang mungkin pernah kita tempuh untuk memenuhi kebutuhan duniawi. Kekayaan hutan dengan semena - mena kita sikat sementara kita tidak peduli untuk menanam kembali setiap pohon yang kita tebang. Akibatnya, hujan sedikit saja mengakibatkan tanah longsor dan banjir bandang di mana - mana.

Pasir di laut terus kita keruk untuk mereklamasi tanah di pantai demi pembangunan pemukiman mewah di tepi pantai. Akibatnya, kondisi pasir di laut cenderung labil dan itu turut memacu pergeseran posisi lempeng di lautan lepas yang berujung pada terjadinya gempa bumi.

Tanah pegunungan yang diyakini mengandung bahan tambang kita eksploitasi besar - besaran tanpa memperhatikan Amdal yang memadai. Akibatnya, kondisi alam pegunungan yang menjadi sasaran tambang berubah dari subur menjadi gersang dan rawan longsor.

Itu semua masih akan berlangsung selama kehendak bebas dari kita semua untuk mengeksploitasi kekayaan alam itu tidak kita rem atau setidaknya kita kendalikan. Parahnya, itu semua kelak menimpa orang - orang yang justru tidak bersalah.

Ini mungkin hanya sebuah tulisan pinggir, tapi semoga dapat membantu kita dalam merefleksikan situasi bencana alam di negeri kita ini. Gimana?



Salam blogger,


Andi Sardono

Cantik atau Pintar?

In nomine Patris et Filii et Spiritu Sancti. Amen

Di Indonesia dan hampir semua negara lain di dunia, sudah jamak kita lihat adanya kontes Pemilihan Putri atau Miss dengan embel - embel lain di belakangnya. Bisa Putri Lingkungan, Miss Sejagat, atau mungkin beberapa nama lain yang disesuaikan dengan tujuan diadakannya kontes tersebut.
Tapi, pernahkan kita melihat ada ketidakonsistenan dalam kontes tersebut? Bukan bermaksud sok moralis, saya cenderung melihat bahwa prasyarat diadakannya kontes - kontes tersebut sering menyimpang dari tujuannya semula. Semisal, selalu dikatakan bahwa yang dipilih adalah gadis atau wanita yang cerdas, smart, diligent, atau berwawasan luas. Tapi, embel - embel di belakangnya selalu ada, yaitu cantik, menawan, dan berpenampilan menarik. Selanjutnya, selalu saja yang terpilih pastilah berwajah cantik, rupawan, ayu, menawan, dan berpenampilan menarik. Kalau kebetulan pintar, smart, diligent, atau berwawasan luas, ya...itu akan menjadi nilai tambah.
Saya lalu berpikir, bagaimana kalau yang kebetulan ikut itu adalah seorang wanita yang terbiasa berpenampilan apa adanya, jauh dari kesan glamor dan jauh pula dari kesan bertaburkan keharuman parfum kelas dunia, berwajah pas - pasan (maaf, kalau nggak dibilang jelek), tapi memiliki kecerdasan di atas rata - rata? Katakanlah, misalnya kecerdasannya melampaui Albert Einstein, Rene L Descartes, Isaack Newton, Thomas Alfa Edison, dan sekian banyak tokoh jenius di dunia dan di Indonesia. Apakah orang - orang dengan kemampuan seperti ini layak untuk ikut dalam kontes - kontes itu? Kalau dianggap tidak layak dari sisi hedonisme duniawi yang menggurita, mungkin kontes - kontes semacam itu sudah saatnya kita anggap sebagai kontes kecantikan belaka, yang nota bene hanya memamerkan kemolekan dan keindahan tubuh belaka plus balutan busana yang harus memenuhi selera industri fashion dunia.
Kecerdasan yang kerap ditampilkan dalam kontes kecantikan itu pun sebetulnya hanyalah kecerdasan di atas kertas, artinya kecerdasan yang bisa dipelajari oleh setiap peserta kontes selama mereka menjalani masa karantina, dan bukan kecerdasan yang lahir dari proses pembelajaran hidup sehari - hari.
Demikianlah, sedikit tumpahan pikiran yang menggelayuti isi kepala tadi pagi ketika saya menyaksikan sebuah tayangan televisi tentang kontes kecantikan di negeri kita. Mudah - mudahan, dengan tulisan ini, kita semua tergugah untuk memberi tempat yang layak bagi kehadiran kontes yang jauh lebih bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik kepada khalayak ramai. Semoga...

Salam blogger,

Andi Sardono
(Tulisan ini dimuat juga di http://andisardonossi.multiply.com dan http://andisardonossi.blogspot.com)